Senin, 03 Maret 2014

Mitigasi Perubahan Iklim di Ekosistem Mangrove



Pemanasan global terjadi karena tingginya kandungan karbondioksida (CO2) dan gas lainnya di atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Kegiatan manusia seperti manufaktur, transportasi dan penebangan hutan menyebabkan terjadinya pelepasan (emisi) CO2 ke atmosfer (FAO 2010). Sekitar 8–20% emisi CO2 terjadi karena deforestasi hutan dan perubahan tata guna lahan (Van der Werf 2009 & IPCC 2007). Gas tersebut membuat atmosfer menahan lebih banyak panas dari matahari, sehingga terjadi kenaikan suhu di bumi. Perubahan temperatur dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan perubahan iklim global. Perubahan iklim mengakibatkan banyak dampak negatif, antara lain kenaikan permukaan air laut, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan penurunan hasil panen. Beberapa negara di dunia berupaya mengatasi  perubahan iklim melalui mekanisme  REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Mekanisme tersebut telah disetujui oleh badan PBB yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Danielsen dkk. 2010).
REDD+ merupakan salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim di sektor kehutanan melalui pengurangan pelepasan (emisi) karbon akibat penggundulan (deforestasi) dan pengrusakan (degradasi) hutan. Mekanisme tersebut mencakup upaya konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon (misalnya reboisasi mangrove) (FORDA 2013). Pengurangan emisi CO2 dalam jangka waktu tertentu dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon yang memiliki ‘nilai’ yang dapat ‘dijual’ di pasar karbon internasional. Transaksi tersebut dikenal dengan Perdagangan Karbon. ‘Pembeli’ karbon adalah pelaku industri yang menghasilkan CO2, sementara ‘penjual’ adalah pengelola hutan yang menjual kredit karbon yang terkandung dalam hutan yang dikelola. Selain mengurangi emisi CO2, REDD+ juga memberi manfaat sebagai sumber pendapatan jangka panjang bagi masyarakat setempat,  menumbuhkan potensi wisata alam, mempertahankan sumber penghidupan tradisional dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan hutan serta meningkatkan pendapatan pemerintah daerah di bidang kelautan perikanan, kehutanan dan pariwisata.
Komponen penting dalam pelaksanaan mekanisme tersebut adalah estimasi simpanan karbon secara tepat untuk berbagai tipe hutan, khususnya tipe-tipe yang memiliki cadangan karbon yang tinggi dan mengalami perubahan tata guna lahan yang tak terkendali, hutan mangrove salah satunya. Hutan mangrove merupakan salah satu hutan terkaya akan kandungan karbon di kawasan tropis, mengandung sekitar 1.023 Mg karbon per hektar (Donato dkk. 2011). Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan 30–50% dalam setengah abad terakhir karena pembangunan daerah pesisir dan penebangan yang berlebihan (Duke 2007). Donato dkk. (2011) memperkirakan bahwa deforestasi mangrove menyebabkan emisi sebesar 0,02- 0,12 Pg karbon per tahun, setara dengan sekitar 10% emisi dari deforestasi secara global, walaupun luasnya hanya 0,7% dari seluruh kawasan hutan tropis. Cadangan karbon yang besar serta berbagai jasa ekosistem yang diberikan manjadikan mangrove berpotensi untuk strategi mitigasi perubahan iklim.
Mangrove melakukan fotosintesis dengan mengambil CO2 dari atmosfer dan diubah menjadi karbohidrat, seperti aktivitas tumbuhan pada umumnya. Karbohidrat kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh pohon mangrove. Pengukuran cadangan karbon dapat dilakukan dengan mengukur tubuh tanaman hidup (biomasa) dan tumbuhan yang telah mati (nekromasa). Pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam biomassa dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman sedangkan cadangan karbon yang masih tersimpan dalam bagian nekromasa secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah dkk. 2011). Selain itu, tanah di hutan mangrove juga merupakan komponen penting dalam penyimpanan cadangan karbon. Donato dkk. (2011) menjelaskan bahwa tanah dengan kandungan organik tinggi memiliki kedalaman antara 0,5-3 m lebih dan merupakan 49–98% simpanan karbon dalam ekosistem mangrove.
Sistem MRV (measuring, reporting, verification) digunakan sebagai dasar pemberian insentif REDD+. Kegiatan MRV terdiri atas (1) Monitoring yaitu proses koleksi data dan penyediaan data dari pengukuran di lapangan; (2) Reporting yaitu proses pelaporan secara formal hasil penilaian ke UNFCCC dengan format sesuai standar IPCC; dan (3) Verification yaitu proses verifikasi formal terhadap laporan-laporan hasil.
Masyarakat sebagai pengguna dan pemelihara hutan mempunyai peran serta langsung dalam skema REDD+. Hal ini diperkuat oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dengan menerbitkan draft Peraturan Menteri Kehutanan (permenhut) mengenai tata cara pelaksanaan REDD+. Masyarakat yang memiliki ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat, ijin pengelolaan hutan adat dan pemilik hutan hak dapat secara langsung mengajukan diri sebagai pemrakarsa REDD kepada Menteri Kehutanan. Masyarakat akan memperoleh insentif sesuai dengan penurunan emisi yang dihasilkan dari areal hutan yang menjadi lokasi REDD+.
Setelah diperoleh data cadangan karbon total dan serapan CO2 (CO2e), maka nilai insentif dapat diestimasi berdasarkan kesepakatan harga karbon internasional. Harga per metrik ton CO2e berkisar dari $ 5-10 (Yee 2010). Sumber lain menyatakan harga cadangan karbon terendah di Amerika Serikat sekitar $10 per ton (Miles & Kapos 2008). Bowen (2011) juga menyatakan harga karbon dioksida £30 per ton di UK.  Nilai tersebut setara dengan Rp 113.520 – Rp 545.715 per ton.
Mitigasi perubahan iklim melalui konservasi ekosistem mangrove diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi berbagai pihak termasuk masyarakat lokal. Sejumlah literatur telah banyak membahas mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta pembiayaan inovatif berkelanjutan, namun cukup sulit untuk dipahami dan diterapkan tanpa adanya pelatihan dari pihak yang benar-benar kompeten di bidang tersebut. Materi mengenai penginderaan jauh untuk kehutanan dan estimasi stok karbon, Sistem Informasi Geografis, monitoring keanekaragaman hayati dan kehutanan, ekonomi lingkungan dan sumber daya alam, bisnis pengelolaan dan konservasi hutan, aspek legal dari pengelolaan dan konservasi hutan serta aspek sosial-budaya dari pengelolaan dan konservasi hutan merupakan materi yang harus dipahami untuk mewujudkan tercapainya upaya mitigasi perubahan iklim tanpa mengesampingkan hak-hak dan kebutuhan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pelatihan yang berisi materi terintegrasi dari berbagai bidang ilmu (Biologi, Geografi, Ekonomi, Bisnis, Hukum, Sosial, Budaya) sangat diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar