Pemanasan
global terjadi karena tingginya kandungan karbondioksida (CO2) dan
gas lainnya di atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Kegiatan manusia seperti
manufaktur, transportasi dan penebangan hutan menyebabkan terjadinya pelepasan
(emisi) CO2 ke atmosfer (FAO 2010). Sekitar 8–20% emisi CO2
terjadi karena deforestasi hutan dan perubahan tata guna lahan (Van der Werf
2009 & IPCC 2007). Gas tersebut membuat atmosfer menahan lebih banyak panas
dari matahari, sehingga terjadi kenaikan suhu di bumi. Perubahan temperatur
dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan perubahan iklim global. Perubahan
iklim mengakibatkan banyak dampak negatif, antara lain kenaikan permukaan air
laut, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan penurunan hasil panen. Beberapa
negara di dunia berupaya mengatasi
perubahan iklim melalui mekanisme
REDD+ (Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation). Mekanisme tersebut telah disetujui oleh
badan PBB yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
(Danielsen dkk. 2010).
REDD+
merupakan salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim di sektor kehutanan
melalui pengurangan pelepasan (emisi) karbon akibat penggundulan (deforestasi)
dan pengrusakan (degradasi) hutan. Mekanisme tersebut mencakup upaya
konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon
(misalnya reboisasi mangrove) (FORDA 2013). Pengurangan emisi CO2
dalam jangka waktu tertentu dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon yang
memiliki ‘nilai’ yang dapat ‘dijual’ di pasar karbon internasional. Transaksi
tersebut dikenal dengan Perdagangan Karbon. ‘Pembeli’ karbon adalah pelaku
industri yang menghasilkan CO2, sementara ‘penjual’ adalah pengelola
hutan yang menjual kredit karbon yang terkandung dalam hutan yang dikelola.
Selain mengurangi emisi CO2, REDD+ juga memberi manfaat sebagai
sumber pendapatan jangka panjang bagi masyarakat setempat, menumbuhkan potensi wisata alam,
mempertahankan sumber penghidupan tradisional dan nilai-nilai budaya yang
terkait dengan hutan serta meningkatkan pendapatan pemerintah daerah di bidang
kelautan perikanan, kehutanan dan pariwisata.
Komponen
penting dalam pelaksanaan mekanisme tersebut adalah estimasi simpanan karbon
secara tepat untuk berbagai tipe hutan, khususnya tipe-tipe yang memiliki
cadangan karbon yang tinggi dan mengalami perubahan tata guna lahan yang tak
terkendali, hutan mangrove salah satunya. Hutan mangrove merupakan salah satu
hutan terkaya akan kandungan karbon di kawasan tropis, mengandung sekitar 1.023
Mg karbon per hektar (Donato dkk. 2011). Namun luas hutan mangrove telah
mengalami penurunan 30–50% dalam setengah abad terakhir karena pembangunan
daerah pesisir dan penebangan yang berlebihan (Duke 2007). Donato dkk. (2011) memperkirakan
bahwa deforestasi mangrove menyebabkan emisi sebesar 0,02- 0,12 Pg karbon per
tahun, setara dengan sekitar 10% emisi dari deforestasi secara global, walaupun
luasnya hanya 0,7% dari seluruh kawasan hutan tropis. Cadangan karbon yang
besar serta berbagai jasa ekosistem yang diberikan manjadikan mangrove
berpotensi untuk strategi mitigasi perubahan iklim.
Mangrove
melakukan fotosintesis dengan mengambil CO2 dari atmosfer dan diubah
menjadi karbohidrat, seperti aktivitas tumbuhan pada umumnya. Karbohidrat
kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh
pohon mangrove. Pengukuran cadangan karbon dapat dilakukan dengan mengukur
tubuh tanaman hidup (biomasa) dan tumbuhan yang telah mati (nekromasa).
Pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam biomassa dapat menggambarkan
banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman sedangkan
cadangan karbon yang masih tersimpan dalam bagian nekromasa secara tidak
langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran
(Hairiah dkk. 2011). Selain itu, tanah di hutan mangrove juga merupakan
komponen penting dalam penyimpanan cadangan karbon. Donato dkk. (2011)
menjelaskan bahwa tanah dengan kandungan organik tinggi memiliki kedalaman
antara 0,5-3 m lebih dan merupakan 49–98% simpanan karbon dalam ekosistem
mangrove.
Sistem MRV (measuring, reporting, verification)
digunakan sebagai dasar pemberian insentif REDD+. Kegiatan MRV terdiri atas (1)
Monitoring yaitu proses koleksi data dan penyediaan data dari pengukuran di
lapangan; (2) Reporting yaitu proses pelaporan secara formal hasil penilaian ke
UNFCCC dengan format sesuai standar IPCC; dan (3) Verification yaitu proses
verifikasi formal terhadap laporan-laporan hasil.
Masyarakat
sebagai pengguna dan pemelihara hutan mempunyai peran serta langsung dalam
skema REDD+. Hal ini diperkuat oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
dengan menerbitkan draft Peraturan Menteri Kehutanan (permenhut) mengenai tata
cara pelaksanaan REDD+. Masyarakat yang memiliki ijin usaha pemanfaatan hasil
hutan kemasyarakatan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan
tanaman rakyat, ijin pengelolaan hutan adat dan pemilik hutan hak dapat secara
langsung mengajukan diri sebagai pemrakarsa REDD kepada Menteri Kehutanan.
Masyarakat akan memperoleh insentif sesuai dengan penurunan emisi yang
dihasilkan dari areal hutan yang menjadi lokasi REDD+.
Setelah
diperoleh data cadangan karbon total dan serapan CO2 (CO2e),
maka nilai insentif dapat diestimasi berdasarkan kesepakatan harga karbon
internasional. Harga per metrik ton CO2e berkisar dari $ 5-10 (Yee
2010). Sumber lain menyatakan harga cadangan karbon terendah di Amerika Serikat
sekitar $10 per ton (Miles & Kapos 2008). Bowen (2011) juga menyatakan
harga karbon dioksida £30 per ton di UK.
Nilai tersebut setara dengan Rp 113.520 – Rp 545.715 per ton.
Mitigasi
perubahan iklim melalui konservasi ekosistem mangrove diharapkan dapat
memberikan keuntungan bagi berbagai pihak termasuk masyarakat lokal. Sejumlah
literatur telah banyak membahas mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
serta pembiayaan inovatif berkelanjutan, namun cukup sulit untuk dipahami dan
diterapkan tanpa adanya pelatihan dari pihak yang benar-benar kompeten di
bidang tersebut. Materi mengenai penginderaan jauh untuk kehutanan dan estimasi
stok karbon, Sistem Informasi Geografis, monitoring keanekaragaman hayati dan
kehutanan, ekonomi lingkungan dan sumber daya alam, bisnis pengelolaan dan
konservasi hutan, aspek legal dari pengelolaan dan konservasi hutan serta aspek
sosial-budaya dari pengelolaan dan konservasi hutan merupakan materi yang harus
dipahami untuk mewujudkan tercapainya upaya mitigasi perubahan iklim tanpa
mengesampingkan hak-hak dan kebutuhan masyarakat lokal. Oleh karena itu,
pelatihan yang berisi materi terintegrasi dari berbagai bidang ilmu (Biologi,
Geografi, Ekonomi, Bisnis, Hukum, Sosial, Budaya) sangat diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar