"Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang berdoa kepadanya.'' (HR. Muslim).
Kamis, 27 Maret 2014
Kamis, 13 Maret 2014
Jalan-jalan ke Pulau Rote
Apa
yang ada dipikiran kalian saat pertama kali mendengar nama Pulau Rote?
Dulu
saat masih SD yang kita tahu Pulau Rote adalah pulau paling selatan Indonesia. Rasanya
seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di Pulau Rote.
Perjalanan
dimulai dari tempat kos di daerah Surabaya. Kemudian menuju ke Bandara
Internasional Juanda di Sidoarjo. Karena ini pertama kalinya juga naik pesawat
:D jadi agak grogi juga bagaimana rasanya naik pesawat. Pesawat pun mulai take
off, alhamdulillah cukup menyenangkan suasanya di dalam pesawat. Butuh waktu
sekitar 2 jam untuk sampai di Kota Kupang.
Setelah
sampai di Kupang, saya menginap semalam di rumah teman. Malam harinya saya
diajak makan di pusat kota, dengan menu "Ayam Penyet". Walaupun
menunya tidak berbeda dengan menu di Surabaya, namun suasana dan lokasi baru
yang membuat lebih spesial.
Keesokan
harinya, pagi-pagi saya diantar menuju pelabuhan. Berangkat sendiri naik
"kapal cepat" berasa seperti anak hilang di antara orang-orang lokal
dengan bahasa yang terdengar asing di telinga. Selain dengan kapal cepat,
perjalanan Kupang—Rote juga bisa ditempuh dengan kapal fery yang membutuhkan
waktu sekitar 4 jam untuk sampai pelabuhan di Rote Timur.
Sekitar
1,5 jam berlalu dan tibalah saya di pelabuhan di Ba'a, Rote Ndao. Saya mencari-cari
orang yang menjemput saya (selumnya teman di Kupang telah memberikan nomor
telepon orang tersebut). Saat itu saya sengaja menggunakan kerudung merah hati
dan jaket kuning (kebanggaan almamater Prodi tempat kuliah di ITS) agar mudah
ditemukan si penjemput. Alhamdulillah ketemu juga dengan Pak F.
Perjalanan
pun berlanjut menuju mess menggunakan sepeda motor. Tidak membutuhkan waktu
yang lama untuk sampai di mess. Sekitar 15 menit akhirnya sampai di tujuan. Di
depan mess ada sawah yang saat itu tampak sejuk dengan hijaunya hamparan padi.
Untuk mendapatkan air bersih tidaklah sulit, masyarakat sekitar mess
mendapatkan air dari saluran irigasi yang disebut "got". Walaupun
namanya demikian, air selalu mengalir dengan sangat jernih dan segar.
Di
belakang mess juga banyak terdapat pohon lontar, hal ini pula yang membuat
Pulau Rote terkenal dengan "Lontar"nya. Buah rote sangat enak dimakan
ketika masih muda, terasa manis, lembut dan segar. Masyarakat lokal
memanfaatkan hampir semua bagian pohon lontar, daunnya digunakan sebagai atap
rumah, tangkai daunnya digunakan untuk dinding rumah, pohonnya digunakan untuk
rangka rumah, dan niranya digunakan untuk bahan dasar gula. Olahan gula ini
bahkan sering dijadikan oleh-oleh.
Masyarakat
Rote mengolah nira menjadi 3 macam produk yakni gula lempeng, gula semut dan
gula air. Disebut gula lempeng karena bentuknya seperti lempengan koin dengan
diameter sekitar 5cm. Sedangkan gula semut disebut demikian karena bentuknya
seperti gula pasir namun berwarna kemerahan seperti kumpulan semut merah. Dan
yang terkahir disebut gula air karena bentuknya berupa cairan kental. Saat
pertama kali saya mencicipi gula air, rasanya seperti madu, hampir sulit
membedakannya.
Sebagian
besar masyarakat Rote beragama Kristen Protestan, ada pula yang bergama Katolik
dan dan Islam. Walapun demikian, mereka sangat menjunjung tinggi kehidupan
beragama. Masyarakat Rote juga terdiri dari suku yang berbeda-beda, selain suku
Rote asli, di sana juga ada warga yang berasal dari Timor, Alor, Flores, Jawa,
Padang dan Batak. Masyarakat saling menghormati, saling toleransi dan saling
menghargai dalam kebhinekaan.
Masih banyak hal yang menarik di Rote Ndao.
Namun, akan saya kupas di lain kesempatan.
Semoga
bermanfaat.
Rabu, 12 Maret 2014
Perubahan Iklim: Upaya mengatasi perubahan iklim di sektor kehutanan
Sektor
kehutanan perlu beradaptasi untuk dapat memanen hutan secara berkelanjutan.
Beberapa rekomendasi umum untuk mulai mengatasi perubahan iklim di sektor
kehutanan termasuk meningkatkan kapasitas untuk melakukan penilaian terpadu
kerentanan terhadap perubahan iklim diberbagai skala, meningkatkan sumber daya
untuk memantau dampak perubahan iklim, meningkatkan sumber daya untuk dampak
dan adaptasi ilmu, meninjau kebijakan kehutanan, perencanaan hutan, pendekatan
pengelolaan hutan, dan lembaga untuk menilai kemampuan untuk mencapai tujuan sosial
di bawah perubahan iklim, menanamkan prinsip-prinsip manajemen risiko dan
manajemen adaptif ke dalam pengelolaan hutan, dan mempertahankan atau
meningkatkan kapasitas komunikasi, jaringan, dan berbagi informasi dengan
masyarakat yang bergantung pada hutan dan dalam sektor kehutanan (Williamson
dkk. 2009). Salah satu program dunia yang disetujui oleh badan PBB yaitu United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) untuk menghadapi perubahan iklim tersebut yakni
program REDD+ (Danielsen dkk. 2010).
Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) adalah sebuah inisiatif global untuk mengurangi
emisi karbon hutan di atmosfer. Hal ini dilakukan dengan pemberian insentif
kepada negara-negara yang masih memiliki hutan untuk melindungi atau
mempertahankan hutan yang ada secara jangka panjang dengan kualitas hutan yang
baik atau setidaknya sama, di mana atas usaha tersebut mereka akan diberikan
kompensasi berdasarkan pendapatan yang dapat mereka peroleh jika mengkonversi
hutan tersebut untuk pertanian atau penggunaan lahan lainnya. REDD+ secara
khusus bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dari deforestasi dan
degradasi hutan, namun tidak menutup kemungkinan adanya manfaat penting lainnya
yang dapat dicapai oleh usaha ini, seperti pengurangan kemiskinan dan
konservasi keanekaragaman hayati (Danielsen dkk. 2010). Jika berhasil,
inisiatif ini dapat membantu melindungi dan meningkatkan hutan dunia sebagai penyimpanan
karbon dan memaksimalkan potensinya dalam memperlambat dan mengurangi dampak
perubahan iklim.
Salah satu
elemen penting dari REDD+ adalah mekanisme keuangan, yang terdiri atas sumber
dan metode pemberian insentif pada negara untuk melindungi hutan yang dimilikinya.
Salah satu pilihan untuk pembiayaan REDD+ ialah pasar karbon. Dalam hal ini
negara-negara maju dan perusahaan swasta akan mendanai pengembangan dan implementasi
REDD+ melalui perdagangan karbon hutan.
Perdagangan
karbon hutan adalah pertukaran uang oleh pembeli kepada penyedia atas upaya penyerapan
dan penyimpanan karbon dalam biomassa hutan (Yee 2010). Pasar karbon hutan
berarti ekonomi di mana produsen atau penjual karbon (misalnya pengelola hutan
dan masyarakat) menerima kompensasi dari pembeli (misalnya: pemerintah dan
perusahaan tertentu) untuk upaya konservasi hutan mereka. Sebagai imbalannya,
para pembeli mendapatkan sertifikasi tertulis atas karbon yang disimpan atau
yang dikenal sebagai kredit karbon. Pasar karbon hutan yang melibatkan
kompensasi untuk pelestarian dan mempertahankan karbon di hutan. Permintaan
untuk kompensasi kehutanan masih rendah, namun tumbuh di pasar sukarela.
Standar untuk kredit diverifikasi kurang ketat. Harga per metrik ton CO2e
berkisar dari $ 5-10 (Yee 2010).
Operasi dan
rancangan dari pasar karbon hutan internasional hingga saat ini masih diperdebatkan
di tingkat internasional, walaupun telah ada sejumlah kecil praktek proyek REDD+
non pemerintah yang melakukan perdagangan karbon sukarela di beberapa tempat di
dunia. Sangat mungkin bahwa pasar karbon hutan internasional tidak akan ada
sebelum tahun 2020, meskipun beberapa negara akan memiliki pasar karbon sendiri
(misalnya Australia dan California) dan mungkin mulai melakukan pembelian
kredit REDD+ secara internasional lebih awal (misalnya 2015).
Karena konsep
REDD+ masih relatif baru, konsep ini telah memunculkan beberapa isu yang perlu
dipertimbangkan secara serius. Isu-isu tersebut menjadi pembahasan di berbagai tingkat,
baik nasional dan internasional. Satu pertanyaan kunci yang banyak
dipertanyakan adalah bagaimana pemerintah akan mengelola uang yang terkait
dengan REDD+, baik dana yang mereka terima dalam melaksanakan mekanisme REDD+
maupun pendapatan dari penjualan kredit karbon. Tidaklah cukup jika hanya
memiliki dana saja, pemerintah perlu menciptakan lembaga dari desa sampai
tingkat nasional dan membangun kapasitas para pemangku kepentingan tentang
bagaimana mengelola dana dan pembagian manfaat yang berdasarkan upaya REDD+
yang berhasil dicapai pada suatu daerah tertentu. Masalah ini menjadi lebih
rumit disebabkan ketidakjelasan tenurial dan banyaknya tantangan untuk
mengatasi pendorong terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, penyebab dan
pemahaman kesalingterkaitan yang terjadi pada beragam situasi yang berbeda.
Perubahan iklim: Dampak dalam ekonomi
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah ekonom telah menggunakan hasil dari model ekologi penelitian kehutanan untuk menilai bagaimana pasar kayu menanggapi perubahan iklim. Studi ini memberikan beberapa wawasan perubahan pasar yang mungkin dihadapi, termasuk perubahan dalam ketersediaan masa depan kayu, lokasi produksi kayu, harga kayu, dan keuntungan bagi pemilik tanah dan pabrik. Sampai saat ini, para ekonom meneliti tiga jenis dampak ekologi secara sistemati: efek hasil produksi kayu, efek dieback, dan migrasi spesies (Shugart dkk. 2003).
Efek hasil produksi, mengukur dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan pohon tahunan (efek yang paling umum dianalisis dalam penilaian dampak). Perubahan pertumbuhan tahunan kayu pada akhirnya mengubah pasokan kayu dan harga dengan mengubah jumlah kayu yang tersedia pada setiap hektar lahan hutan. Karena model ekologi membuat prediksi yang berbeda tentang tingkat, ukuran, dan arah iklim mengubah dampak pada hutan, ekonom telah menggunakan berbagai hasil yang tersedia dari studi ekologi untuk menentukan perubahan potensial dalam pertumbuhan tahunan kayu. Sedangkan efek dieback dan migrasi spesies ialah perkiraan potensi perubahan dalam distribusi geografis spesies. Dieback dapat didefinisikan sebagai tingginya insiden penurunan dan individu pohon mati karena perubahan kondisi iklim yang akan membuat mereka rentan terhadap penyakit dan serangga predator (Sedjo & Sohngen 1998).
Hasil studi menunjukkan bahwa beberapa stok kayu menjadi sakit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan ketika terjadi perubahan iklim. Di daerah-daerah, jenis kayu yang ada diasumsikan mati kembali atau melanjutkan hidup, tetapi tidak berhasil dalam regenerasi alami. Jika ekologi dipertimbangkan dalam isolasi, sebuah spesies membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bermigrasi dari satu tempat ke tempat (Clark 1998 dalam Shugart dkk. 2003)
Perubahan iklim: Dampak bagi masyarakat lokal sekitar hutan
Dampak perubahan iklim pada sistem alam dan manusia sebagian besar masih belum dapat dipastikan. Namun, telah diketahui bahwa jika kehilangan hutan lebih cepat dibandingkan yang dapat kita pulihkan, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan menjadi pihak pertama yang akan terkena dampak. Hal ini diakibatkan ketergantungan masyarakat lokal yang sangat tinggi pada hutan (Pakia 2000; Sheil dkk. 2004), baik untuk penyediaan makanan, kayu bakar, tempat tinggal, obat-obatan (Ravindran 2005; Prabhakaran & Kavitha 2012) dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya (Pattanaik dkk. 2008; Ajiningrum 2011; Tsuji dkk. 2011).
Kehidupan masyarakat di sekitar hutan akan semakin sulit, jika berlangsung dampak ikutan dari kehilangan hutan, seperti menurunnya akses untuk mendapatkan air yang berkualitas dan makanan, berlangsungnya banjir atau kekeringan yang ekstrim, serta berlangsungnya perubahan iklim. Kondisi tersebut menempatkan masyarakat lokal menjadi mitra yang sangat penting dalam perlindungan dan pengelolaan hutan, serta cara mereka menggunakan atau mengelola hutan (Pakia 2000), karena hal tersebut akan berdampak secara signifikan pada perubahan iklim global.
Jika masyarakat lokal tidak sepenuhnya terlibat, hutan menjadi lebih rentan terhadap berbagai perusakan, seperti perambahan dan penebangan liar. Peningkatan kebutuhan penyediaan pangan dan bahan bakar, peningkatan kemiskinan di pedesaan, dan penegakan hukum yang lemah merupakan tantangan tambahan yang berlangsung dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, jika masyarakat terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan hutan yang ada di sekitar mereka, berbagai penyebab kerusakan hutan dapat diatasi yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi emisi karbon dioksida ke atmosfer.
Perubahan Iklim: Respon Ekosistem Hutan
Perubahan
dalam lokasi hutan - Dengan perubahan iklim, beberapa karakteristik spesies
di hutan bisa bergeser ke lokasi baru. Iklim bisa berubah lebih cepat daripada
kemampuan hutan dalam bermigrasi. Dampak negatif utama perubahan iklim ialah kemungkinan
perubahan keanekaragaman hayati, terutama pada spesies endemik yang akan
memiliki kesulitan berpindah (Sedjo & Sohngen 1998). Mitigasi dampak
negatif dari perubahan iklim terhadap hutan akan tergantung pada peningkatan
kapasitas spesies untuk adaptasi. Fenomena seperti migrasi biji tumbuhan,
perubahan dalam penyebaran penyakit oleh serangga (FAO 2010), atau cepatnya
perubahan penyebaran pada iklim yang berbeda penting untuk menentukan perubahan
dalam hutan. Pola spasial dari respon perubahan ekosistem darat pada skala
besar, dan potensi dampak fenomena spasial seperti migrasi vegetasi, dapat
menjadi penting ketika dinamika karbon dipertimbangkan (Pitelka dkk. 1997 dalam
Shugart dkk. 2003). Efek spasial seperti migrasi spesies memperlambat respon
terhadap perubahan lanskap. Di lain model berbasis investigasi, efek spasial
dapat mengurangi tingkat kepunahan spesies dalam menanggapi perubahan
lingkungan dengan menyediakan lokasi yang aman di mana suatu spesies dapat
bertahan (setidaknya untuk sementara waktu).
2.
Perubahan
dalam komposisi hutan - Komposisi spesies di beberapa hutan hari ini berbeda
dengan komposisi di masa lalu. Seiring waktu, individu spesies telah mengubah
rentang derajat kebebasan hidup mereka. Misalnya, rentang spesies telah
bergeser pada tingkat yang berbeda, sehingga memiliki pola distribusi yang
berbeda, dan ukuran populasi yang meningkat dan menurun. Secara kolektif,
proses ini dapat menghasilkan kombinasi baru dari kelas spesies dan hutan. Dua
tipe pendekatan dapat memberikan pemahaman perubahan komposisi yaknik model
niche spesies dan model berbasis individu-pohon (Shugart dkk. 2003). Model
relung spesies menggunakan variabel lingkungan yang muncul untuk mengontrol distribusi
geografis spesies sebagai dasar untuk mengembangkan peta distribusi jenis pohon
dalam menanggapi perubahan iklim. Karena pohon telah dikenal untuk mengubah
rentang mereka secara independen dari satu sama lain selama perubahan iklim
masa lalu (sehingga mengubah komposisi hutan di seluruh benua) (Shugart dkk.
2003).
Model berbasis
individu-pohon mirip model relung spesies dalam mempertimbangkan lingkungan /
interaksi spesies, tetapi mereka juga menyimulasikan kelahiran, pertumbuhan,
kematian, variasi genetik dari setiap individu pohon (dan interaksi mereka)
untuk simulasi lanskap. Model ini digunakan untuk memproyeksikan kemungkinan
konsekuensi dari perubahan iklim di masa depan antara lain perubahan signifikan
dalam komposisi spesies, struktur vegetasi, produktivitas, dan biomassa.
Aplikasi ini biasanya terbatas pada lanskap lokal, terutama karena kurangnya
suatu informasi dasar tentang tanah, elevasi dan informasi variabel iklim
lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan model daerah lebih besar pada
resolusi tinggi (Shugart dkk. 2003).
3
Perubahan
dalam produktivitas hutan - Perubahan iklim kemungkinan akan mengubah pola temperatur
dan curah hujan di masa yang akan datang, di mana keduanya merupakan faktor
yang sangat berpengaruh pada produktivitas hutan. Selain itu, peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer dapat mempengaruhi keseimbangan air dan
laju fotosintesis tumbuhan, serta mempengaruhi produktivitas hutan. Produktivitas
hutan secara langsung mempengaruhi hasil kayu dan layanan lain yang disediakan
oleh hutan. Penilaian perubahan iklim terhadap produktivitas hutan ditekankan
pada dampak biofisik dan fisiologis pada daun dan pohon untuk memprediksi
produktivitas hutan. Karena model yang digunakan dalam penilaian hanya
menggambarkan fisiologis tanaman, maka penting untuk membahas perubahan fungsi
tanaman dari efek CO2 langsung dan beberapa masalah dalam skala
kecil untuk pengamatan skala spasial yang lebih besar dan skala waktu yang
lebih lama (Shugart dkk. 2003).
Referensi:
FAO. 2010. Global forest resources assessment 2010: Main report. FAO Forestry Paper 163. Food
and Agriculture Organization of The United Nations. Rome: xxxi + 340.
Sedjo, R. & B. Sohngen. 1998. Impacts of climate change on forests, Internet Edition. Recources For The Future Climate Issue Brief
9, Second Edition. 9 hlm.
Shugart, H., R. Sedjo &
B. Sohngen. 2003. Forests and global climate change: Potential Impacts on
U.S. Forest Resources. Pew Center on Global Climate Change. v + 51
hlm.
Langganan:
Postingan (Atom)