Kamis, 13 Maret 2014

Jalan-jalan ke Pulau Rote



Apa yang ada dipikiran kalian saat pertama kali mendengar nama Pulau Rote?
Dulu saat masih SD yang kita tahu Pulau Rote adalah pulau paling selatan Indonesia. Rasanya seperti mimpi bisa menginjakkan kaki di Pulau Rote.

Perjalanan dimulai dari tempat kos di daerah Surabaya. Kemudian menuju ke Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo. Karena ini pertama kalinya juga naik pesawat :D jadi agak grogi juga bagaimana rasanya naik pesawat. Pesawat pun mulai take off, alhamdulillah cukup menyenangkan suasanya di dalam pesawat. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai di Kota Kupang.

Setelah sampai di Kupang, saya menginap semalam di rumah teman. Malam harinya saya diajak makan di pusat kota, dengan menu "Ayam Penyet". Walaupun menunya tidak berbeda dengan menu di Surabaya, namun suasana dan lokasi baru yang membuat lebih spesial.

Keesokan harinya, pagi-pagi saya diantar menuju pelabuhan. Berangkat sendiri naik "kapal cepat" berasa seperti anak hilang di antara orang-orang lokal dengan bahasa yang terdengar asing di telinga. Selain dengan kapal cepat, perjalanan Kupang—Rote juga bisa ditempuh dengan kapal fery yang membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai pelabuhan di Rote Timur.

Sekitar 1,5 jam berlalu dan tibalah saya di pelabuhan di Ba'a, Rote Ndao. Saya mencari-cari orang yang menjemput saya (selumnya teman di Kupang telah memberikan nomor telepon orang tersebut). Saat itu saya sengaja menggunakan kerudung merah hati dan jaket kuning (kebanggaan almamater Prodi tempat kuliah di ITS) agar mudah ditemukan si penjemput. Alhamdulillah ketemu juga dengan Pak F.

Perjalanan pun berlanjut menuju mess menggunakan sepeda motor. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di mess. Sekitar 15 menit akhirnya sampai di tujuan. Di depan mess ada sawah yang saat itu tampak sejuk dengan hijaunya hamparan padi. Untuk mendapatkan air bersih tidaklah sulit, masyarakat sekitar mess mendapatkan air dari saluran irigasi yang disebut "got". Walaupun namanya demikian, air selalu mengalir dengan sangat jernih dan segar.

Di belakang mess juga banyak terdapat pohon lontar, hal ini pula yang membuat Pulau Rote terkenal dengan "Lontar"nya. Buah rote sangat enak dimakan ketika masih muda, terasa manis, lembut dan segar. Masyarakat lokal memanfaatkan hampir semua bagian pohon lontar, daunnya digunakan sebagai atap rumah, tangkai daunnya digunakan untuk dinding rumah, pohonnya digunakan untuk rangka rumah, dan niranya digunakan untuk bahan dasar gula. Olahan gula ini bahkan sering dijadikan oleh-oleh.

Masyarakat Rote mengolah nira menjadi 3 macam produk yakni gula lempeng, gula semut dan gula air. Disebut gula lempeng karena bentuknya seperti lempengan koin dengan diameter sekitar 5cm. Sedangkan gula semut disebut demikian karena bentuknya seperti gula pasir namun berwarna kemerahan seperti kumpulan semut merah. Dan yang terkahir disebut gula air karena bentuknya berupa cairan kental. Saat pertama kali saya mencicipi gula air, rasanya seperti madu, hampir sulit membedakannya.

Sebagian besar masyarakat Rote beragama Kristen Protestan, ada pula yang bergama Katolik dan dan Islam. Walapun demikian, mereka sangat menjunjung tinggi kehidupan beragama. Masyarakat Rote juga terdiri dari suku yang berbeda-beda, selain suku Rote asli, di sana juga ada warga yang berasal dari Timor, Alor, Flores, Jawa, Padang dan Batak. Masyarakat saling menghormati, saling toleransi dan saling menghargai dalam kebhinekaan.

 Masih banyak hal yang menarik di Rote Ndao. Namun, akan saya kupas di lain kesempatan.

Semoga bermanfaat.



Rabu, 12 Maret 2014

Perubahan Iklim: Upaya mengatasi perubahan iklim di sektor kehutanan



Sektor kehutanan perlu beradaptasi untuk dapat memanen hutan secara berkelanjutan. Beberapa rekomendasi umum untuk mulai mengatasi perubahan iklim di sektor kehutanan termasuk meningkatkan kapasitas untuk melakukan penilaian terpadu kerentanan terhadap perubahan iklim diberbagai skala, meningkatkan sumber daya untuk memantau dampak perubahan iklim, meningkatkan sumber daya untuk dampak dan adaptasi ilmu, meninjau kebijakan kehutanan, perencanaan hutan, pendekatan pengelolaan hutan, dan lembaga untuk menilai kemampuan untuk mencapai tujuan sosial di bawah perubahan iklim, menanamkan prinsip-prinsip manajemen risiko dan manajemen adaptif ke dalam pengelolaan hutan, dan mempertahankan atau meningkatkan kapasitas komunikasi, jaringan, dan berbagi informasi dengan masyarakat yang bergantung pada hutan dan dalam sektor kehutanan (Williamson dkk. 2009). Salah satu program dunia yang disetujui oleh badan PBB yaitu United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk menghadapi perubahan iklim tersebut yakni program REDD+ (Danielsen dkk. 2010). 
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) adalah sebuah inisiatif global untuk mengurangi emisi karbon hutan di atmosfer. Hal ini dilakukan dengan pemberian insentif kepada negara-negara yang masih memiliki hutan untuk melindungi atau mempertahankan hutan yang ada secara jangka panjang dengan kualitas hutan yang baik atau setidaknya sama, di mana atas usaha tersebut mereka akan diberikan kompensasi berdasarkan pendapatan yang dapat mereka peroleh jika mengkonversi hutan tersebut untuk pertanian atau penggunaan lahan lainnya. REDD+ secara khusus bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dari deforestasi dan degradasi hutan, namun tidak menutup kemungkinan adanya manfaat penting lainnya yang dapat dicapai oleh usaha ini, seperti pengurangan kemiskinan dan konservasi keanekaragaman hayati (Danielsen dkk. 2010). Jika berhasil, inisiatif ini dapat membantu melindungi dan meningkatkan hutan dunia sebagai penyimpanan karbon dan memaksimalkan potensinya dalam memperlambat dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Salah satu elemen penting dari REDD+ adalah mekanisme keuangan, yang terdiri atas sumber dan metode pemberian insentif pada negara untuk melindungi hutan yang dimilikinya. Salah satu pilihan untuk pembiayaan REDD+ ialah pasar karbon. Dalam hal ini negara-negara maju dan perusahaan swasta akan mendanai pengembangan dan implementasi REDD+ melalui perdagangan karbon hutan. 
Perdagangan karbon hutan adalah pertukaran uang oleh pembeli kepada penyedia atas upaya penyerapan dan penyimpanan karbon dalam biomassa hutan (Yee 2010). Pasar karbon hutan berarti ekonomi di mana produsen atau penjual karbon (misalnya pengelola hutan dan masyarakat) menerima kompensasi dari pembeli (misalnya: pemerintah dan perusahaan tertentu) untuk upaya konservasi hutan mereka. Sebagai imbalannya, para pembeli mendapatkan sertifikasi tertulis atas karbon yang disimpan atau yang dikenal sebagai kredit karbon. Pasar karbon hutan yang melibatkan kompensasi untuk pelestarian dan mempertahankan karbon di hutan. Permintaan untuk kompensasi kehutanan masih rendah, namun tumbuh di pasar sukarela. Standar untuk kredit diverifikasi kurang ketat. Harga per metrik ton CO2e berkisar dari $ 5-10 (Yee 2010).
Operasi dan rancangan dari pasar karbon hutan internasional hingga saat ini masih diperdebatkan di tingkat internasional, walaupun telah ada sejumlah kecil praktek proyek REDD+ non pemerintah yang melakukan perdagangan karbon sukarela di beberapa tempat di dunia. Sangat mungkin bahwa pasar karbon hutan internasional tidak akan ada sebelum tahun 2020, meskipun beberapa negara akan memiliki pasar karbon sendiri (misalnya Australia dan California) dan mungkin mulai melakukan pembelian kredit REDD+ secara internasional lebih awal (misalnya 2015).
Karena konsep REDD+ masih relatif baru, konsep ini telah memunculkan beberapa isu yang perlu dipertimbangkan secara serius. Isu-isu tersebut menjadi pembahasan di berbagai tingkat, baik nasional dan internasional. Satu pertanyaan kunci yang banyak dipertanyakan adalah bagaimana pemerintah akan mengelola uang yang terkait dengan REDD+, baik dana yang mereka terima dalam melaksanakan mekanisme REDD+ maupun pendapatan dari penjualan kredit karbon. Tidaklah cukup jika hanya memiliki dana saja, pemerintah perlu menciptakan lembaga dari desa sampai tingkat nasional dan membangun kapasitas para pemangku kepentingan tentang bagaimana mengelola dana dan pembagian manfaat yang berdasarkan upaya REDD+ yang berhasil dicapai pada suatu daerah tertentu. Masalah ini menjadi lebih rumit disebabkan ketidakjelasan tenurial dan banyaknya tantangan untuk mengatasi pendorong terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, penyebab dan pemahaman kesalingterkaitan yang terjadi pada beragam situasi yang berbeda.

Perubahan iklim: Dampak dalam ekonomi


Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah ekonom telah menggunakan hasil dari model ekologi penelitian kehutanan untuk menilai bagaimana pasar kayu menanggapi perubahan iklim. Studi ini memberikan beberapa wawasan perubahan pasar yang mungkin dihadapi, termasuk perubahan dalam ketersediaan masa depan kayu, lokasi produksi kayu, harga kayu, dan keuntungan bagi pemilik tanah dan pabrik. Sampai saat ini, para ekonom meneliti tiga jenis dampak ekologi secara sistemati: efek hasil produksi kayu, efek dieback, dan migrasi spesies (Shugart dkk. 2003). 

Efek hasil produksi, mengukur dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan pohon tahunan (efek yang paling umum dianalisis dalam penilaian dampak). Perubahan pertumbuhan tahunan kayu pada akhirnya mengubah pasokan kayu dan harga dengan mengubah jumlah kayu yang tersedia pada setiap hektar lahan hutan. Karena model ekologi membuat prediksi yang berbeda tentang tingkat, ukuran, dan arah iklim mengubah dampak pada hutan, ekonom telah menggunakan berbagai hasil yang tersedia dari studi ekologi untuk menentukan perubahan potensial dalam pertumbuhan tahunan kayu. Sedangkan efek dieback dan migrasi spesies ialah perkiraan potensi perubahan dalam distribusi geografis spesies. Dieback dapat didefinisikan sebagai tingginya insiden penurunan dan individu pohon mati karena perubahan kondisi iklim yang akan membuat mereka rentan terhadap penyakit dan serangga predator (Sedjo & Sohngen 1998). 

Hasil studi menunjukkan bahwa beberapa stok kayu menjadi sakit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan ketika terjadi perubahan iklim. Di daerah-daerah, jenis kayu yang ada diasumsikan mati kembali atau melanjutkan hidup, tetapi tidak berhasil dalam regenerasi alami. Jika ekologi dipertimbangkan dalam isolasi, sebuah spesies membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bermigrasi dari satu tempat ke tempat (Clark 1998 dalam Shugart dkk. 2003)

Perubahan iklim: Dampak bagi masyarakat lokal sekitar hutan


Dampak perubahan iklim pada sistem alam dan manusia sebagian besar masih belum dapat dipastikan. Namun, telah diketahui bahwa jika kehilangan hutan lebih cepat dibandingkan yang dapat kita pulihkan, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan menjadi pihak pertama yang akan terkena dampak. Hal ini diakibatkan ketergantungan masyarakat lokal yang sangat tinggi pada hutan (Pakia 2000; Sheil dkk. 2004), baik untuk penyediaan makanan, kayu bakar, tempat tinggal, obat-obatan (Ravindran 2005; Prabhakaran & Kavitha 2012) dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya (Pattanaik dkk. 2008; Ajiningrum 2011; Tsuji dkk. 2011). 

Kehidupan masyarakat di sekitar hutan akan semakin sulit, jika berlangsung dampak ikutan dari kehilangan hutan, seperti menurunnya akses untuk mendapatkan air yang berkualitas dan makanan, berlangsungnya banjir atau kekeringan yang ekstrim, serta berlangsungnya perubahan iklim. Kondisi tersebut menempatkan masyarakat lokal menjadi mitra yang sangat penting dalam perlindungan dan pengelolaan hutan, serta cara mereka menggunakan atau mengelola hutan (Pakia 2000), karena hal tersebut akan berdampak secara signifikan pada perubahan iklim global. 

Jika masyarakat lokal tidak sepenuhnya terlibat, hutan menjadi lebih rentan terhadap berbagai perusakan, seperti perambahan dan penebangan liar. Peningkatan kebutuhan penyediaan pangan dan bahan bakar, peningkatan kemiskinan di pedesaan, dan penegakan hukum yang lemah merupakan tantangan tambahan yang berlangsung dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, jika masyarakat terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan hutan yang ada di sekitar mereka, berbagai penyebab kerusakan hutan dapat diatasi yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi emisi karbon dioksida ke atmosfer.

Perubahan Iklim: Respon Ekosistem Hutan



    Perubahan dalam lokasi hutan - Dengan perubahan iklim, beberapa karakteristik spesies di hutan bisa bergeser ke lokasi baru. Iklim bisa berubah lebih cepat daripada kemampuan hutan dalam bermigrasi. Dampak negatif utama perubahan iklim ialah kemungkinan perubahan keanekaragaman hayati, terutama pada spesies endemik yang akan memiliki kesulitan berpindah (Sedjo & Sohngen 1998). Mitigasi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap hutan akan tergantung pada peningkatan kapasitas spesies untuk adaptasi. Fenomena seperti migrasi biji tumbuhan, perubahan dalam penyebaran penyakit oleh serangga (FAO 2010), atau cepatnya perubahan penyebaran pada iklim yang berbeda penting untuk menentukan perubahan dalam hutan. Pola spasial dari respon perubahan ekosistem darat pada skala besar, dan potensi dampak fenomena spasial seperti migrasi vegetasi, dapat menjadi penting ketika dinamika karbon dipertimbangkan (Pitelka dkk. 1997 dalam Shugart dkk. 2003). Efek spasial seperti migrasi spesies memperlambat respon terhadap perubahan lanskap. Di lain model berbasis investigasi, efek spasial dapat mengurangi tingkat kepunahan spesies dalam menanggapi perubahan lingkungan dengan menyediakan lokasi yang aman di mana suatu spesies dapat bertahan (setidaknya untuk sementara waktu).

2.       Perubahan dalam komposisi hutan - Komposisi spesies di beberapa hutan hari ini berbeda dengan komposisi di masa lalu. Seiring waktu, individu spesies telah mengubah rentang derajat kebebasan hidup mereka. Misalnya, rentang spesies telah bergeser pada tingkat yang berbeda, sehingga memiliki pola distribusi yang berbeda, dan ukuran populasi yang meningkat dan menurun. Secara kolektif, proses ini dapat menghasilkan kombinasi baru dari kelas spesies dan hutan. Dua tipe pendekatan dapat memberikan pemahaman perubahan komposisi yaknik model niche spesies dan model berbasis individu-pohon (Shugart dkk. 2003). Model relung spesies menggunakan variabel lingkungan yang muncul untuk mengontrol distribusi geografis spesies sebagai dasar untuk mengembangkan peta distribusi jenis pohon dalam menanggapi perubahan iklim. Karena pohon telah dikenal untuk mengubah rentang mereka secara independen dari satu sama lain selama perubahan iklim masa lalu (sehingga mengubah komposisi hutan di seluruh benua) (Shugart dkk. 2003).
Model berbasis individu-pohon mirip model relung spesies dalam mempertimbangkan lingkungan / interaksi spesies, tetapi mereka juga menyimulasikan kelahiran, pertumbuhan, kematian, variasi genetik dari setiap individu pohon (dan interaksi mereka) untuk simulasi lanskap. Model ini digunakan untuk memproyeksikan kemungkinan konsekuensi dari perubahan iklim di masa depan antara lain perubahan signifikan dalam komposisi spesies, struktur vegetasi, produktivitas, dan biomassa. Aplikasi ini biasanya terbatas pada lanskap lokal, terutama karena kurangnya suatu informasi dasar tentang tanah, elevasi dan informasi variabel iklim lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan model daerah lebih besar pada resolusi tinggi (Shugart dkk. 2003).

3      Perubahan dalam produktivitas hutan - Perubahan iklim kemungkinan akan mengubah pola temperatur dan curah hujan di masa yang akan datang, di mana keduanya merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada produktivitas hutan. Selain itu, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer dapat mempengaruhi keseimbangan air dan laju fotosintesis tumbuhan, serta mempengaruhi produktivitas hutan. Produktivitas hutan secara langsung mempengaruhi hasil kayu dan layanan lain yang disediakan oleh hutan. Penilaian perubahan iklim terhadap produktivitas hutan ditekankan pada dampak biofisik dan fisiologis pada daun dan pohon untuk memprediksi produktivitas hutan. Karena model yang digunakan dalam penilaian hanya menggambarkan fisiologis tanaman, maka penting untuk membahas perubahan fungsi tanaman dari efek CO2 langsung dan beberapa masalah dalam skala kecil untuk pengamatan skala spasial yang lebih besar dan skala waktu yang lebih lama (Shugart dkk. 2003).

Referensi:
FAO. 2010. Global forest resources assessment 2010: Main report. FAO Forestry Paper 163. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome: xxxi + 340. 
Sedjo, R. & B. Sohngen. 1998. Impacts of climate change on forests, Internet Edition. Recources For The Future Climate Issue Brief 9, Second Edition. 9 hlm.
Shugart, H., R. Sedjo & B. Sohngen. 2003. Forests and global climate change: Potential Impacts on U.S. Forest Resources. Pew Center on Global Climate Change. v + 51 hlm.